Powered By Blogger

Senin, 14 Juni 2021

Tak Semudah yang Dibayangkan, Ini Tantangan Usaha Batik bagi Pemula

 


Bangsa Indonesia patut berbangga dengan keberagaman budaya yang tersebar di seluruh penjuru negeri, salah satunya akan budaya batik telah menjadi ciri khas dan aset budaya Indonesia. Selain menjadi warisan budaya, batik juga bisa menjadi sebuah bisnis usaha yang menjanjikan.

Meski demikian, menekuni batik sebagai usaha maupun karya tidak semudah yang dibayangkan. Hal ini diungkap oleh Dewi Mardiyah (50) seorang pembatik dan pebisnis dari Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten Malang.


Dewi yang telah 3 tahun menggeluti bisnis batik ini mengungkap, keterampilannya membatik didapatkan berkat pelatihan yang diadakan pihak kecamatan dan kabupaten setempat.


"Ya awalnya sulit. Saat saya memulai ada rasa penasaran, juga ada rasa menyukai hal itu.Tapi malah jadi semakin penasaran, kenapa orang bisa kok saya tidak. Akhirnya setelah terus belajar ternyata nggak sulit," kepada detikcom beberapa waktu belakangan.


Untuk itu, Dewi dengan giat memasarkan batik produksi Desa Ngenep ke mulai dari koneksi teman, tetangga, juga saling bertukar-titip di galeri batik yang ada di desa tetangga. Tak hanya itu, Dewi juga mulai merambah pasar online dan menerima pesanan melalui WhatsApp, Facebook, serta Instagram.


Diakuinya berkat pemasaran online, batiknya pernah dikirim ke Pasuruan, Jawa Timur hingga ke Batam, Kepulauan Riau. Selain itu, Dewi juga aktif mengikuti berbagai pameran di tingkat kecamatan dan kabupaten guna dapat mengenalkan batik produksi Desa Ngenep ke pasar yang lebih luas.


Kendati penuh tantangan, Dewi mengaku akan terus giat meneruskan usahanya. Sebab, usaha kerajinan batik ini tak hanya sebagai bisnis semata. Tapi juga sebagai motivasi untuk ibu-ibu di sekitar agar dapat mendukung perekonomian keluarga dengan keterampilan membatik.


"Saya bilang ke ibu-ibu PKK, pengajian, KWT, dan lainnya. Menginspirasi kepada mereka untuk bisa mencari nafkah meski dari rumah lewat batik, tidak perlu ke kantor atau pabrik. Yang penting bisa bantu perekonomian keluarga," terangnya.


Sementara itu, Lilik Faristi, salah satu anggota KWT di Desa Ngenep menjelaskan telah dua tahun belajar membatik di workshop milik Dewi. Bahkan telah mengikuti uji kompetensi sebagai pembatik.


Ia mengaku sempat merasakan sulitnya mencanting saat mulai belajar membatik. Dari sulitnya mengatasi panas lilin malam, juga menyatukan garis serta titik dari kain yang dicanting. Kini, Lilik telah dapat mengembangkan keterampilannya dan mulai berkreasi di berbagai pembuatan batik. Ia pun berharap usaha batik di desa ini bisa berkembang lebih maju dan lebih dikenal lagi.


Kisah batik tulis dari Desa Ngenep ini menjadi satu dari kumpulan kisah dalam program Jelajah UMKM ke beberapa wilayah di Indonesia. Program Jelajah UMKM mengulas berbagai aspek kehidupan warga dan membaca potensi di daerah. Untuk mengetahui informasi lebih lengkap, Ikuti terus jelajah UMKM bersama BRI hanya di


Berkat pelatihan terus menerus, ia berhasil menguasai keterampilan membatik baik berupa batik tulis, batik cap, batik printing, hingga ecoprint. Dewi pun berhasil mengajak ibu-ibu kelompok wanita tani (KWT) di desanya untuk bergabung ke dalam pelatihan membatik dan mengembangkan batik khas Desa Ngenep dengan ikon desain pepaya.


Tak berhenti di sini saja, Dewi mengaku menemui kesulitan lain yakni dalam hal pemasaran batik. Ia merasakan sendiri sulitnya memasarkan batik, terlebih batik yang diproduksinya selama ini lebih difokuskan pada pembuatan batik tulis yang membutuhkan proses panjang sehingga berharga cukup tinggi yaitu di kisaran Rp 250.000 ke atas per lembarnya.


"Kenapa mahal karena proses dari menggambar sampai akhir itu menggunakan tangan. Jadi satu batik itu membutuhkan waktu yang lama, makanya harganya juga mahal," jelasnya.



0 komentar:

Posting Komentar

Related image