Powered By Blogger

Sabtu, 22 Juni 2019

Pawai cap go meh, Asimilasi 3 Budaya Magnet Kota Singkawang

Pawai Tatung, Asimilasi 3 Budaya Magnet Kota Singkawang

Menyaksikan atraksi yang satu ini sedikit memberikan sensasi ketegangan tersendiri. Ini merupakan parade atraksi kesaktian warga Dayak-Tiongkok dalam merayakan Cap Go Meh, perayaan yang dilakukan pasca hari raya imlek. Atraksi yang diberi nama pawai tatung ini mengikuti tradisi Tionghoa yang berbaur dengan budaya Dayak yang hanya bisa disaksikan di Singkawang, Kalimantan Barat.

Perayaan Cap Go Meh dirayakan hampir di seluruh dunia. Namun, Cap Go Meh di Singkawang memiliki perayaan yang sedikit berbeda dengan perayaan yang dilakukan di wilayah lain. Selain memiliki ciri khas budaya tradisi, aneka pertunjukan yang disajikan pada perayaan Cap Go Meh di Singkawang menyerap dan berasimilasi dengan budaya lokal. Seperti pertunjukan tatung misalnya yang menjadi salah satu bentuk asimilasi budaya di Singkawang. Tatung dalam bahasa Hakka berarti orang yang dirasuki roh, dewa, leluhur, atau kekuatan supranatural. Pawai tatung di Singkawang ini merupakan yang terbesar di dunia.
Sebelum Cap Go Meh berlangsung, terlihat satu persatu warga Tionghoa Singkawang bergantian bersembahyang di vihara. Ini dilakukan tepatnya 13-15 hari setelah tahun baru Imlek 2566. Para warga Tionghoa ini bersembahyang bukan tanpa maksud, karena hari itu disebut sebagai harimau putih, seraya berharap tidak terjadi hal-hal yang diinginkan. Saat waktu menjelang sore, banyak suhu atau pendeta yang keluar dan bersembahyang di vihara dengan tujuan meminta izin kepada para dewa, agar ritual tatung berjalan secara lancar dan terhindar dari hal-hal buruk saat festival berlangsung.
Upacara pemanggilan tatung dipimpin oleh seorang pendeta. Pemanggilan tatung ini dilakukan dengan mendatangkan roh orang yang sudah meninggal untuk merasuki tatung. “Roh-roh yang dipanggil diyakini sebagai roh-roh baik, yang mampu menangkal roh jahat yang hendak mengganggu keharmonisan hidup masyarakat. Roh baik terdiri dari roh pahlawan dalam legenda Tiongkok, seperti panglima perang, hakim, sastrawan, pangeran, pelacur yang sudah bertobat dan orang suci lainnya,” cerita Husada, Wakil Ketua Vihara Tri Dharma Bumi Raya Singkawang.
Menurut Husada, roh-roh yang dipanggil ini dapat merasuki siapa saja, tergantung apakah para pemeran tatung memenuhi syarat dalam tahapan yang ditentukan pendeta. Para tatung diwajibkan berpuasa selama tiga hari sebelum hari perayaan, dengan maksud mereka berada dalam keadaan suci sebelum perayaan. Tatung diyakini memiliki kekuatan supranatural, mampu melakukan pengobatan dan pengusiran unsur-unsur jahat (tolak bala).
Setelah sebelumnya diadakan pawai lampion, arak-arakan barongsai, dan pawai naga maka dua hari berikutnya dilakukan perayaan Cap Go Meh di Singkawang. Pada perayaan Cap Go Meh ini terdapat juga dominasi arak-arakan tatung dari vihara. Arak-arakan tatung dalam perayaan Cap Go Meh di Singkawang dilaksanakan setelah mendapat berkat dan restu dari Kelenteng atau vihara.

Upacara arak-arakan tatung dimulai dari altar vihara. Para suhu (pendeta) memberikan persembahan kepada Dewa To Pe Kong. Setelah minta diberkahi keselamatan, mereka kemudian memanggil roh, tubuh para tatung ini dirasuki roh agar menjadi kebal untuk kemudian diarak keliling kota, dengan dandanan pakaian mewakili kelompok masyarakat Tionghoa atau Dayak.

Diiringi genderang, peserta pawai mengenakan kostum gemerlap pakaian kebesaran Suku Dayak dan negeri Tiongkok di masa silam. Atraksi tatung dipenuhi dengan hal mistik dan menegangkan. Misalnya, ada tatung yang  berdiri tegak diatas tandu menginjakan kaki di sebilah mata pedang atau pisau. Ada pula yang menancapkan kawat-kawat baja runcing ke pipi kanan hingga menembus pipi kiri.
Para tatung ini melakukan atraksi mempertunjukkan kekebalan mereka, sesekali mereka harus minum arak, atau bahkan menghisap darah ayam yang secara khusus disiapkan sebagai ritual. Pecahan kaca diinjak, atau bahkan kaki para tatung menginjak bagian tajam dari sebilah pedang. Para tatung diarak dengan jalan kaki, namun sebagian lain berdiri diatas tahta yang dipanggul oleh 4 orang, layaknya pembesar dari negeri Tionghoa.
Menariknya, para Tatung itu sedikit pun tidak tergores atau terluka. Sambil memamerkan kekebalan tubuh dengan benda-benda tajam, tatung diarak berkeliling kota Singkawang. Rute yang di tempuh meliputi, Lapangan Kridasana menuju Jalan Pelita, kemudian mengarah ke Jalan Yohana Godan dan Jalan GM Situt. Perjalanan kemudian berlanjut ke Jembatan Pasar Ikan, mengarah ke Jalan Saad dan mengarah ke Jalan Setia Budi dan ke jalan Toko Obat 1001 dan ke Jalan Budi Utomo serta melewati Jembatan Rusen. Dari Jembatan Rusen, perjalanan mengarah ke Vihara Tri Dharma Bumi Raya dan ke Jalan Sejahtera. Setelah itu, pawai diarahkan menuju Jalan Kepol Mahmud dan berakhir di Muka Altar Lelang. Terakhir, mereka berkumpul untuk melakukan sembahyang bersama kepada Thian (Tuhan) di altar pusat perayaan Cap Go Meh di Singkawang.  
Asimilasi Budaya
Keberadaan tatung dalam jumlah besar merupakan fenomena budaya khas Kota Singkawang saat perayaan Cap Go Meh Singkawang. Sebagai pesta kebudayaan, pawai tatung memiliki sisi ritual religi yang cukup kental dan mencerminkan pembauran kepercayaan Taoisme kuno dengan animisme lokal yang hanya terdapat di Kota Singkawang.
Daerah Singkawang sendiri memiliki penduduk asli yakni Suku Dayak, Melayu yang berbaur dengan warga Tionghoa yang sudah lama tinggal di sana. Kesemuannya tidak beragama atau dikenal dengan animisme. Wilayah Singkawang awalnya merupakan bagian dari wilayah Sambas yang melingkupi Kota Singkawang, Kabupaten Sambas, dan Kabupaten Bengkayang. Sambas bermakna sam (tiga) bas (etnis), yang berarti penduduknya terdiri dari etnis Melayu Sambas, yang beragama Islam, peleburan dari berbagai suku atau etnis yaitu Melayu, campuran Tionghoa-Dayak Islam, Bugis, Jawa yang beragama Islam mengidentifikasi diri sebagai etnis Melayu.

Kedua etnis Tinghoa, yang beragama Samkaw (Tao, Buddha dan konfusius), Katolik, Protestan merupakan turunan Tionghoa perantauan, turunan campuran Tionghoa Dayak yang mengidentifikasi diri dalam etnis Tionghoa Indonesia. Ketiga, etnis Dayak, beragama Katolik, Protestan, Islam dan sebagian kecil animisme, mengidentifikasi diri dengan suku Dayak (penduduk asli Kalimantan).
Perayaan festival Cap Go Meh di Singkawang merupakan perayaan yang berasal dari Tiongkok yang sejak lebih dari 250 tahun dibawa dan dirayakan di Sambas oleh orang Tionghoa Singkawang. Kemudian perayaan ini beradaptasi dan berasimilasi dengan budaya, tradisi, dan ritual tradisional animisme setempat. Festival Cap Go Meh merupakan pesta rakyat terbesar di dunia dengan fenomena kearifan lokal yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pariwisata di tanah air.

Kemeriahan Festival Lampion Menjadi Magnet Kota Singkawang

Kemeriahan Festival Lampion Menjadi Magnet Kota Singkawang


Singkawang, merupakan kota yang terkenal dengan sebutan kota seribu kelenteng. Kota yang juga terkenal dengan keindahan alam ini juga memiliki keragaman budaya yang khas. Untuk memperingati hari besar Imlek, di Singkawang diselenggarakan berbagai macam festival yang membuat kota ini terlihat semarak dan ramai dikunjungi turis-turis asing, salah satunya festival lampion yang berlangsung malam hari. Antusias ribuan orang untuk menyaksikan festival ini begitu besar dan mereka datang dari berbagai penjuru Indonesia maupun mancanegara. Hiburan rakyat ini menjadi seru dan bermakna karena budaya dan tradisi yang disajikan berasimilasi dengan budaya lokal setempat.
Festival lampion ini mengambil rute di jalan-jalan utama Kota Singkawang. Melakukan start di kantor Walikota Singkawang, di kawasan jalan Firdaus menuju jalan Diponegoro, mengarah ke Jalan Niaga melewati Jembatan Rusen, menuju Jalan Budi Utomo dan finish di Jalan Tani atau di sekitar Singkawang Mall. Tidak ada tempat yang kosong disisi kanan dan kiri jalan, seluruh jalan dipenuhi warga yang ingin menyaksikan kemeriahan festival lampion yang digelar malam hari tersebut. Rombongan pertama diisi oleh barisan laki-laki yang membawa lampion, jumlah mereka sekitar 50 orang, masing-masing lampion dibawa dengan menggunakan tongkat. Ribuan masyarakat Kota Singkawang tidak mau ketinggalan untuk menyaksikan langsung festival akbar ini dengan memadati bahu-bahu jalan.
Selain lampion, festival ini juga dimeriahkan dengan dua buah naga yang berukuran besar. Naga yang memiliki dua buah warna ini mempunyai ukuran yang berbeda. Untuk naga yang berwarna merah memiliki panjang sekitar 76 meter, sedangkan naga kuning memiliki panjang sekitar 50 meter. Untuk naga kuning di bawa oleh 23 orang, sedangkan naga merah melibatkan 14 orang. Kedua naga ini diarak dengan cara menggerakan tongkat yang menyokong bagian tubuh naga.  Kedua mata naga ini seperti memancarkan cahaya, seolah-olah sang Naga seperti ingin menerkam bola kristal.
Salah seorang pemuda yang memegang tongkat yang terkait kepala naga berusaha mengikuti gerakan-gerakan bola kristal yang digerakan oleh pemuda lain.  Mata naga tersebut menyala dengan bantuan lilitan kabel yang memanjang guna mengalirkan pasokan listrik dari genset yang terpasang di belakang ekor naga. Masyarakat Singkawang sepertinya cukup kreatif dalam menggelar pawai lampion yang tahun ini diselenggarakan pada 3 Maret 2015 lalu.
Selain pawai lampion, kegiatan inj juga diramaikan dengan pawai mobil hias, drum band, pakai adat dayak, dan pakaian adat Tionghoa. Beberapa mobil pick up melintasi jalan-jalan dengan membawa rumah dan patung yang biasa disembah di vihara. Pertunjukan barongsai juga ikut ambil bagian memeriahkan pawai lampion ini. Rombongan pawai lampion ini berputar-putar mengikuti rute yang ditentukan dan berakhir di Jalan Tani, Singkawang. Semua etnis yang ada di Singkawang seperti etnis Melayu, Dayak, dan Tionghoa ikut serta meramaikan festival rakyat Singkawang ini.





0 komentar:

Posting Komentar

Related image