Gunung Anak Krakatau meletus Jumat (10/4/2020) malam. Tinggi kolom abunya sekitar 500 meter. Gunung Anak Krakatau dikenal dunia sejak letusan terbesarnya pada 1883. , letusan itu merupakan yang terkuat dalam sejarah, dengan level 6 skala Volcanic Explosivity Index (VEI).
Letusan itu hanya kalah dari letusan skala 7 Gunung Tambora pada 1815 dan letusan skala 8 Gunung Toba di Sumatera Utara, 74.000 pada 2017. Letusan Krakatau disebut berkekuatan 21.574 kali daya ledak bom atom meleburkan Hiroshima (De Neve, 1984). Selain melenyapkan Pulau Krakatau, letusan itu menghancurkan kehidupan di pesisir Banten dan Lampung.
Kengeriannya dilukiskan catatan pribumi, seperti ”Syair Lampung Karam” yang ditulis Muhammad Saleh dan catatan kolonial.
Terdengar hingga Singapura dan Australia
letusan itu terjadi pada 27 Agustus pukul 10.52 pagi. Letusannya terdengar hingga Singapura dan Australia. Sedikitnya 36.417 orang meninggal dan hilang terseret gelombang atau tertimbun bahan letusan yang dimuntahkan gunung tersebut. Letusan gunung api yang dahsyat itu merupakan puncak dari rangkaian ledakan yang terjadi sejak 20 Mei 1833. Ketika itu Anak Krakatau meletus dengan memuntahkan abu gunung api dan uap air yang dilontarkan ke udara setinggi 11 kilometer dari Kawah Perbuatan. Suara ledakannya saat itu terdengar hingga 200 kilometer. Intensitas bertambah pada tanggal 26 Agustus dan mencapai puncaknya pada Senin 27 Agustus. Saat 27 Agustus itu batu dan abu halus dihembuskan ke angkasa. Tingginya mencapai 70-80 kilometer. Itu mengakibatkan gangguan cuaca dunia beberapa tahun kemudian.
Sinar matahari tidak mampu menembus abu gunung api yang terlontar ketika itu, sehingga bagian selatan Pulau Sumatera dan Jawa menjadi gelap gulita. Endapannya menutup daerah seluas 827.000 kilometer persegi. Letusan-letusan lumpur terjadi September dan Oktober 1833 sampai Februari 1884. Kemudian tiba masa tenang selama 44 tahun, hingga munculnya Anak Krakatau baru pada Agustus 1930. Gunung Anak Krakatau inilah yang dikenal hingga sekarang.
Sejarah Gunung Anak Krakatau
Kepala Sub Dit Pengamatan Gunung Api Direktorat Vulkanologi Ir. Liek Pardyanto mengatakan sebutan Gunung Anak Krakatau yang sekarang dipakai orang sebenarnya tidak tepat. Hal itu karena gunung itu adalah generasi ketiga dari Gunung Krakatau Purba yang pernah meletus sebelum 1.600. Menurut catatan sejarah yang ada, kerucut Gunung Krakatau Purba pada mulanya muncul dan terlihat di atas permukaan air sekitar 2.000 meter di Laut Sunda. Kerucut gunung itu pada saat itu diperkirakan terdiri atas endesit tridimit, basalt, dan abu gunung api yang berwarna hitam. Ada kawah aktifnya dan suatu saat bisa meletus dengan dahsyat. Diperkirakan sebelum abad ke-18, pada waktu itu letusannya sampai menimbulkan kaldera. Sisa letusannya ketika itu 3 pulau kecil di batas kaldera, yaitu Pulau Krakatau (Rakata), Pulau Sertung, dan Pulau Panjang. Dengan demikian berakhirlah siklus pertama Gunung Krakatau Purba itu. Siklus keduanya dimulai dengan keaktifan Pulau Rakata yang mengeluarkan lelehan lava diselingi dengan letusan batuan bersifat basalt. Dalam prosesnya kemudian Pulau Gunung Rakata, Danan, dan Perbuatan menjadi satu pulau gunung api yang berukuran 9x5 kilometer dan mempunyai kerucut. Gunung Anak Krakatau inilah yang kemudian meletus pada 1833 dan menimbulkan korban 36.000 an jiwa. Kerucutnya juga ikut hancur saat itu