Akibat mengangkat kayu tenggelam di aliran Sungai Kapuas, yang berada di Dusun Kayu Tunu-Dusun Mensogak, Desa Sei Muntik, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Robinson Pangemanan harus merasakan dinginnya lantai penjara selama 10 bulan. Ia dituduh mencuri kayu milik PT Erna Djuliawati.
Robinson Pangemanan adalah pemilik PT Robinson Borneo Khatulistiwa, bergerak di bidang pekerjaan bawah air atau usaha salvage. Robinson mendirikan perusahaannya awal tahun 2010.
Kisah Robinson berawal ketika, dia mendengar ada kayu tenggelam di alur Sungai Kapuas, Sanggau. Robinson mendatangi langsung Desa Muntik. Kebenaran informasi, mendekati fakta. Dari penjelasan nelayan dan kepala desa yang diperoleh Robinson, di tikungan alur Sungai Kapuas, Desa Muntik, diyakini lokasi keberadaan bangkai kapal tongkang dan kayu.
Para nelayan mengaku kerap mengalami patah kemudi perahunya bila melintasi aliran sungai, dekat tikungan alur.
Dengan keahliannya, Robinson membuktikan di bawah air terdapat tongkang. “Tidak perlu pendidikan tinggi untuk membuktikan adanya kapal tongkang di bawah itu. Cukup lemparkan magnet, dan magnet akan lengket ke besi, badan kapal,” kata Robinson.
Dengan pengalamannya mengangkat kapal tanker minyak yang karam di perairan Kapuas, Kabupaten Kubu Raya, tiga tahun lalu. Robinson pun menyurvei keberadaan kapal tongkang dan muatannya di Desa Muntik.
Hasilnya, di alur itu terdapat bangkai tongkang dan ribuan batang kayu terhampar di bawah air. Kayu itu berada di sepanjang aliran Sungai Kapuas dari Lintang Kapuas hingga Sungai Sei Muntik. Lokasinya berada di koordinat S.00 01 317 E.110 34 353 di simpang alur sungai.
“Lokasinya delapan meter dari bibir sungai. Dan kayu terhampar sepanjang tujuh kilometer di bawah air,” ujar Robinson.
Kayu itu terdiri dari berbagai jenis. Ada kayu tekam, bengkirai, teladan teriung, dan ulin. Diameter kayu rata-rata antara 40-100 cm. Setiap kayu memiliki panjang 20 meter. Satu batang kayu beratnya antara 7-20 kubik.
“Saya perkirakan ada 1000 batang kayu. Bila diangkat dan dikerjakan selama tiga tahun saja tidak akan selesai itu,” kata Robinson. Kalikan saja, bila satu kubik kayu sekitar Rp 6-7 juta, berapa nilai kayu tersebut. Nilainya bisa mencapai ratusan miliar. Jenis-jenis kayu itu pun, sekarang tidak bisa didapatkan lagi.
Keberadaan kayu yang menyebar masih menjadi tanda tanya hingga sekarang. Pasalnya, bila keberadaan kayu itu akibat ponton yang tenggelam, tentu saja kayu hanya ada di tikungan alur Sungai Sei Muntik. Namun, keberadaan kayu itu menyebar hingga tujuh kilometer panjangnya, tentu ada alasannya.
Mulai Pencarian
Setelah mendapat informasi mengenai kayu tersebut, ia segera mempersiapkan langkah pengangkatan. Kayu yang tidak diangkat selama jangka waktu tertentu, masuk dalam kategori limbah. Hal itu harus dibersihkan karena bisa mengganggu alur pelayaran dan membahayakan masyarakat umum.
Robinson melakukannya pekerjaannya sesuai dengan prosedur dan hukum yang berlaku. Tidak hanya hukum nasional, juga hukum internasional. “Saya kerjakan sesuai prosedur undang-undang dan peraturan untuk mengangkat limbah itu. Ingat, saya tidak memakai anggaran negara,” ujar Robinson.
Robinson meyakini usahanya membersihkan limbah di bawah air Sungai Muntik berpijak pada perundangan yang berlaku, sahih. Misalnya, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010, tentang Perairan, Keputusan Menteri Nomor 52 Tahun 2011 tentang Keselamatan Sungai dan Danau, Keputusan Menteri Perhubungan menyoal Pekerjaan Bawah Air Nomor 23 Tahun 1990. Dan Konvensi PBB 1982 tentang Pencemaran Lingkungan,” ujar Robinson.
Ia memberikan contoh, berdasarkan UU Kenavigasian dan Angkutan di Perairan, Pasal 123, Pasal 1 berbunyi, ”Dalam hal pemerintah menemukan kerangka kapal dan/atau muatannya atau berdasarkan laporan dari masyarakat dan tidak diketahui pemiliknya, pemerintah melakukan pengumuman ditemukannya kerangka kapal dan/atau muatannya.” Pasal 3 berbunyi, ”Dalam jangka sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) tidak ada yang mengakui pemilik, wajib diangkat oleh menteri dan kerangka kapal/dan/atau muatannya jadi milik negara.”
Sebelum mengangkat kayu, ia melaksanakan tahapan perizinan dan sosialisasi, mulai dari konfirmasi kepada PT Erna Djuliawati, pengurusan perizinan dari kepala desa, camat, Dinas Perhubungan dan Komunikasi Sanggau, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian
Perhubungan, dan juga pemberitahuan kepada Dandim 1204/Sanggau juga Polres Sanggau, dilalui Robinson.
Berdasarkan dokumen, tercatat konfirmasi telah dilakukan kepada PT Erna Djuliawati. Tertulis di dokumen, pada Senin 11 Februari 2013, Robinson mendatangi Kantor PT Erna Djuliawati di Pontianak. Kedatangan Robinson hanya diterima Eka, sebagai Sekretaris Pimpinan PT Erna Djuliawati, Ir. Maman.
Dalam pertemuan itu, Robinson menjelaskan maksud kedatangannya, dan menyerahkan dokumen profil perusahaan miliknya, atas permintaan Eka. “Saya katakan kepada perusahaan, akan menunggu penjelasan selama satu pekan. Bila tidak ada pemberitahuan, saya aka kerjakan sesuai prosedur,” tegas Robinson.
Penjelasan yang ditunggu, itu tidak diterima Robinson. Sesuai dengan mekanisme perundangan serta pengalamannya, Robinson akhirnya mengurus perizinan untuk pembersihan limbah di bawah air Sungai Kapuas di Desa Muntik.
Proses pengurusan berjalan. Di antaranya dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut-Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Pontianak. Surat itu ditandatangani Kepala Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuan Pontianak, Capt. Sudiono. M.Mar, dengan tiga poinnya. Di antaranya, merekomendasikan kepada perusahaan P.B.A, PT Robinson Borneo Khatulistiwa untuk melaksanakan kegiatan pekerjaan tersebut dengan biaya sendiri.
Awal Mei 2013, sebelum pengangkatan kayu gelondongan, Robinson menggelar upacara adat yang dihadiri unsur Muspika dan PT Erna Djuliawati.
Selanjutnya, Robinson melakukan pengangkatan limbah kayu di Sei Mutik. Selama empat hari pengangkatan, ia berhasil mengangkat 55 batang kayu gelondongan jenis bengkirai. “Pengangkatan itu, bagian dari prosedur untuk mendapatkan Surat Persetujuan Kegiatan dari kementerian. Saya sudah lakukan sesuai dengan undang-undang. Saya kerja sesuai dengan prosedur,” kata Robinson.
Setelah mengetahui jenis kayu, PT Erna Djuliawati melaporkan Robinson ke Polres Sanggau dengan tuduhan pencurian. Laporan itu ditindaklanjuti Polres Sanggau dengan menyita kapal yang digunakan Robinson untuk mengangkat kayu. Dia pun ditetapkan sebagai tersangka dengan dikenakan pasal pencurian, pasal 362 dan pasal 363 KUHP.
Ketika mengingat proses hukumnya di kepolisian, Robinson tertawa. “Saya dilaporan polisi dikenakan pasal 362-363. Padahal di Keputusan Menteri dan Peraturan Pemerintah, lebih dari satu bulan, limbah itu dikuasai negara,” tutur Robinson.
Dalam Berita Acara Pemeriksaan di Polres Sanggau, penyidikan dilakukan Briptu Ika Kurniadi, masa itu, Robinson menegaskan pengambilan limbah kayu log proses perizinannya masih berjalan.
Dia menuturkan, dalam penanganan itu, polisi bersikap semena-mena. Seorang pekerja selam mendapat penganiayaan dari oknum polisi. Penyelam itu babak belur dan gendang telinganya pecah karena pukulan polisi. Selain itu, kapal ditahan empat bulan tanpa ada surat penahanan.
“Saya menggunakan hukum nasional dan internasional, tapi mereka menggunakan hukum rimba,” ungkap mantan aktivis Medecins Sans Frontieres (MSF), organisasi kemanusiaan di bawah naungan PBB.
Dikriminalisasi di Pengadilan
“Hukum itu ibarat pisau. Tajam ke bawah, tumpul ke atas,” kata Robinson.Setelah menjalani sidang selama tiga bulan, Januari 2014, dia divonis 10 bulan penjara.Meski dia tidak melakukan banding, dia melakukan perlawanan hukum.
Upaya perlawanan tidak surut. Sejak keluar dari bui, Robinson balik mengadukan proses hukum yang dialaminya. Dia mendatangi Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Indonesia Corruption Watch dan universitas terkemuka. Dia kirimi laporan hukumnya. “Ada unsur korupsi di sini,” ucap Robinson.
Dugaan Robinson didasari fakta dan bukti formal dalam persidangan yang dijalaninya. Catatan Robinson, ada sembilan fakta dan bukti formal tidak diungkap dalam persidangan, sebagai petunjuk kayu milik PT Erna Djuliawati.
Di antaranya, pemberitahuan PT Erna Djuliawti tentang penimbunan kayu log di dasar sungai kepada Dinas Perhubungan dan Kominfo Kabupaten Sanggau. Juga surat izin penimbunan kayu log di dasar sungai dari Dinas Perhubungan.
Merujuk regulasi kementerian, pembersihan muatan di bawah air dari kejadian kapal, memiliki batas waktu. Hingga kurun waktu satu bulan, bila muatan tidak diambil maupun dibersihkan, dinyatakan dikuasai negara.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Barat, Marselinus Tjawan, mengatakan, tidak ada laporan tentang kayu log yang tenggelam di dasar Sungai Kapuas di Kayu Tunu. “Prosesnya mesti disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku saja,” kata Marselinus.
Menurut Marselinus, perebutan kayu log di dasar sungai baru pertama kali di Kalimantan Barat. Karena itu, dalam menanganinya mesti mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku.
Di antaranya, tidak boleh hanya mengacu kepada ketentuan sektor kehutanan, tapi ada aturan lain yang mengatur pemanfaatan bahan limbah di dasar sungai. Ada aturan yang mengatur pemanfaatan harta karun di dasar sungai dan atau dasar laut yang mesti disinkronkan.
“Jadi, penanganannya tidak bisa mengacu kepada satu produk hukum saja,” kata Marselinus.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polisi Daerah Kalimantan Barat, Ajun Komisaris Besar Nowo Winarti, mengatakan, belum memperoleh data tentang temuan ribuan kayu log di dasar Sungai Kapuas di Kayu Tunu, Sanggau, Kabupaten Sanggau, sehingga tidak bisa berkomentar lebih lanjut.
Kalaupun ada ketidakpuasan masyarakat terhadap penanganan hukum, termasuk dugaan ada kriminalisasi hukum yang dilakukan aparat kepolisian, perlu dilengkapi data yang akurat, untuk dilakukan pengusutan lebih lanjut.
Sudah Diperingatkan
Manajemen PT Erna Djuliawati, menegaskan, sebelumnya Robinson sudah diperingatkan agar tidak mengangkat kayu log yang sudah tenggelam di dasar Sungai Kapuas di sekitar Kayu Tunu, Sanggau, Kabupaten Sanggau.
“Karena sudah diperingatkan tidak diindahkan, akhirnya kami laporkan kepada aparat penegak hukum,” kata Tejo Purwanto, Kepala Hubungan Masyarakat PT Erna Djuliawati, Jum’at (7/11).
Menurut Tejo, ribuan kayu log tenggelam di dasar Sungai Kapuas di Sei Muntik, milik PT Erna Djuliawati yang belum diangkat kembali. Salah satu buktinya, ada bangkai kapal tongkang milik PT Erna Djuliawati yang masih mangkrak di dasar Sungai Kapuas di Kayu Tunu
Tejo menolak memberikan keterangan apakah kayu log yang tenggelam di dasar sungai dilengkapi Laporan Hasil Produksi dan Stock Opname, karena kasusnya sudah lama sekali.
Tejo yang mengaku pernah menjadi advokat, menegaskan, manajemen PT Erna Djuliawati, tidak bisa mengomentari terlalu terhadap sebuah proses hukum yang sudah berkekuatan hukum tetap.
Ia berkata, Robinson sudah divonis bersalah. Vonisnya sudah berkekuatan hukum tetap dan Robinson sudah menjalani hukumannya. Jika PT Erna Djuliawati, mengomentari sebuah proses hukum yang sudah berkuatan hukum tetap, bisa disalahkan sehingga menimbulan masalah baru.
Ketika ditanya apakah manajemen PT Erna Djuliawati akan mengangkat kembali kayu log yang tenggelam di dasar Sungai Kapuas di Kayu Tunu, Tejo, menegaskan, “Perusahaan kami memiliki prosedur standar di dalam mengamankan asset. Kayu log yang tenggelam itu tetap akan diolah sehingga dinyatakan sebagai bahan baku.”
Tejo menolak mendetailkan tenggelam kapal tongkang bermuatan kayu gelondongan. “Tentu perusahaan punya langkah sendiri, sesuai ketentuan yang berlaku. Termasuk membuat laporan tentang kapal tongkang pengangkut kayu log tenggelam,” kata Tejo.
Padahal, Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Pontianak, pada Juni 2013, telah mengingatkan PT Erna Djuliawati, untuk segera membersihkan lokasi dari bangkai kapal tongkang dan limbah kayu log, karena mengganggu keselamatan dan keamanan.(Team)