Powered By Blogger

Senin, 02 Agustus 2021

Sejarah Lumpur Lapindo dan Urusan Ganti Rugi yang Belum Tuntas

 





Semburan lumpur panas di lokasi pengeboran milik PT Lapindo Brantas yang terjadi sejak 29 Mei 2006 membuat sejumlah desa di Sidoarjo, Jawa Timur, terpaksa menutup sejarah dengan kisah pilu. Puluhan ribu warga harus mengungsi dan merintis kehidupan baru di tempat lain. Bahkan, hingga 13 tahun berselang, urusan ganti-rugi tak kunjung selesai. Pusat lumpur panas menyembur berlokasi di Kecamatan Porong, sekitar 12 kilometer sebelah selatan Kota Sidoarjo. Kawasan ini merupakan permukiman padat penduduk serta salah satu area industri utama di Jawa Timur. Beberapa ruas jalan raya, jalan tol, dan jalur kereta api juga turut terdampak. Kerugian yang teramat besar pun tak terelakkan. Penyebab terjadinya semburan lumpur panas masih menjadi perdebatan dan belum diperoleh kepastiannya. Ada dua teori yang dikemukakan oleh pihak Lapindo terkait hal ini. Pertama, semburan lumpur terjadi lantaran kesalahan prosedur saat pengeboran. Kedua, lumpur panas menyembur secara kebetulan saat pengeboran, tapi penyebabnya belum diketahui. Di luar dua teori itu, muncul hipotesis lainnya ihwal dugaan penyebab semburan lumpur ini, yaitu terkait dengan proses panas bumi, bisa pula dipicu gempa bumi berkekuatan 5,9 Skala Richter yang mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya pada 27 Mei 2006, hanya berselang dua hari sebelum Sidoarjo tersembur lumpur.


Faktor Kesalahan Manusia? 


Fenomena semburan lumpur panas di Sidoarjo pun menjadi perhatian dunia karena kejadian ini terbilang amat langka dan menarik untuk diteliti lebih lanjut. Mengenai penyebabnya, banyak pihak yang cenderung meyakini bahwa bencana itu terjadi karena kesalahan pengeboran. Di Cape Town, Afrika Selatan, sebagaimana diwartakan Liputan6 (31 Oktober 2008), digelar forum yang melibatkan 90 ahli geologi dari seluruh dunia. Sebagian besar peserta pertemuan ini menyimpulkan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo disebabkan karena faktor kesalahan prosedur pengeboran. Kesimpulan yang lebih mengejutkan terungkap dari hasil penelitian Drilling Engineers Club. Salah satu penelitinya, Kersam Sumanta, dilansir Kompas (7 Agustus 2012), menyatakan: “Semburan lumpur di Desa Siring [salah satu desa di Porong] yang bersumber dari pengeboran PT Lapindo Brantas tidak disebabkan oleh bencana alam. Semburan lumpur Lapindo itu karena kesalahan operasi pemboran yang disengaja." Ali Azhar Akbar melalui buku Konspirasi di Balik Lumpur Lapindo (2007), menuliskan, Kersam -yang pernah cukup lama bekerja di Pertamina juga mantan anggota Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo- menegaskan ada unsur kekeliruan manusia yang menyimpang dari standar teknik pengeboran dan menyebabkan munculnya semburan lumpur tersebut. Kersam merekomendasikan cara alternatif sebagai upaya menanggulangi banjir lumpur, yaitu dengan memompakan cairan berat melalui dua relief well (sumur bantuan untuk mengendalikan banjir). Sayangnya, tulis Akbar, seruan Kersam tidak didengar oleh pihak-pihak berwenang terkait masalah ini. Sama sekali tidak ada respons untuk menanggapi kesimpulan dan usulan Kersam. Urusan lumpur Lapindo pun seakan terbengkalai. Sejumlah tindakan yang telah dilakukan untuk mengurangi volume lumpur tampaknya belum efektif. Setidaknya hingga akhir 2008, lumpur yang dimuntahkan sebanyak 100.000 meter kubik tiap harinya.


Dampak & Proses Ganti Rugi

 Dampak semburan lumpur Lapindo sangat besar dan meluas. Sebanyak 16 desa di 3 kecamatan di Sidoarjo tergenang lumpur panas yang terus bertambah. Lebih dari 25 ribu warga Sidoarjo harus mengungsi, 8.200 orang di antaranya terpaksa dievakuasi karena kampung halamannya tidak bisa ditempati lagi. Tidak kurang dari 10.426 unit rumah warga dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur. Itu belum termasuk kantor-kantor pemerintahan, sekolah-sekolah, dan fasilitas publik lainnya, termasuk jaringan listrik, telepon, dan air bersih. Begitu pula dengan ratusan hektare lahan pertanian serta persawahan milik warga, serta ribuan ekor hewan ternak. Sebanyak 30 pabrik yang berada di sekitar area semburan lumpur, dikutip dari buku Antropologi Ekologi (2016) karya Adri Febrianto, terpaksa berhenti beroperasi. Ini berakibat terhadap 1.873 orang yang harus kehilangan pekerjaan mereka di pabrik-pabrik itu. Hingga rezim berganti, dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat 2004-2014, kemudian masa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 2014 dan kemungkinan besar bakal berlanjut sampai 2024, urusan ganti rugi belum tuntas sepenuhnya. Lapindo -yang dimiliki Bakrie Group- sebenarnya sepakat membayar ganti rugi sebesar Rp3,8 triliun berdasarkan peta area sebaran lumpur. Hingga saat ini, Lapindo telah menggelontorkan Rp3,03 triliun. Sisanya sebesar Rp827 miliar menggunakan dana talangan dari pemerintah. Setelah 13 tahun berlalu, sebagaimana dilaporkan JPNN (28 Mei 2019), masih banyak warga yang belum mendapatkan ganti rugi meskipun sudah berkali-kali mengadu ke pemerintah. Terlebih, ganti-rugi yang dibayarkan hanya untuk materi saja, tidak memperhitungkan kerugian non-materi yang diderita para korban.


Meskipun begitu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono memastikan bahwa ganti rugi untuk warga sudah terpenuhi, yang belum adalah ganti rugi untuk para pengusaha di Sidoarjo yang asetnya turut terdampak bencana lumpur. Dalam rapat dengan Komisi V DPR RI pada Rabu (12/6/2019) lalu, diusulkan agar pemerintah memberikan dana talangan untuk pembangunan tanggul hingga penyedotan lumpur di Sidoarjo. Basuki menyebut angka Rp380 miliar yang mungkin akan digelontorkan tahun depan. “Masih ada usulan dari DPR di Komisi V untuk bisa memikirkan yang pengusaha. Kalau yang rakyat ‘kan sudah. Yang pengusaha ini sekarang tinggal tanahnya saja yang ingin diganti," beber Basuki. Hingga Maret 2019, Basuki menyebut bahwa cicilan yang dibayarkan Lapindo belum mencapai 10 persen dari dana talangan yang telah diberikan pemerintah. Padahal, utang tersebut akan jatuh tempo pada akhir Juni 2019 ini.


0 komentar:

Posting Komentar

Related image