Powered By Blogger

Minggu, 29 Maret 2020

Sedikit Cerita Sebuah Penyesalan

Image result for Penyesalan

Iwan sudah setahun pergi ke kota tanpa pernah menengok ibunya yang sebatang kara. Luka lama yang menjadi alasan klasik untuk melarikan diri dari tanggung jawab. Iwan lelah dengan ibunya yang selalu merecoki kehidupan pribadinya. Bagi ibu, segala urusan Iwan adalah urusan ibu.

Entah untuk kesekian kalinya Iwan jengah dengan perlakuan sang ibu. Lagi-lagi masalah jodoh yang menurutnya tidak begitu penting. Iwan telah merasa cukup dengan segala upaya yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, minus istri yang selalu digadang-gadang sang ibu.


"Ibu ingin menimang cucu, Iwan. Ibu sudah tua, kesepian bila kamu tinggalkan terus-terusan. Tidak bisakah kamu mencari istri?" Ratih menghela napas, beban berat yang mengganduli hatinya tak kunjung sirna. Justru bertambah dari hari ke hari tanpa bisa dicegah.

"Ibu, tolong mengertilah." Iwan sama frustrasinya dengan Ratih, ia lelah mencari dan memutuskan hidup tanpa pendamping sejati.

"Atau kamu mau Ibu carikan calon istri untukmu, Iwan?" Dimulailah acara tawar-menawar antara Iwan dan Ratih.

"Tidak, Ibu, Iwan akan cari sendiri nanti bila memang ada seseorang yang mau menikah dengan Iwan apa adanya."

"Lantas, kapan?" Ratih menghembuskan napas keras. Anak satu-satunya itu tidak juga mencari istri. Usia Iwan sudah mendekati kepala tiga, ia khawatir dengan masa depan anaknya itu. Bukan masalah tampang, Iwan menuruni hampir semua katampanan suaminya yang bule, yang sayangnya memilih menikah lagi di negara asalnya dengan seorang wanita muda. Meninggalkan Ratih dengan seorang bocah mungil yang belum lagi mengenal ayahnya sendiri.

"Jika Iwan sudah menemukan wanita yang tidak hanya menyukai wajah tampan Iwan dan juga harta yang Iwan miliki, Bu. Dan jika ibu kesepian, mengapa tidak Ibu saja yang menikah lagi?" Air muka Ratih berubah merah. Selalu begitu bila ia meminta dan bahkan memaksa Iwan menikah, Iwan akan berbalik memintanya untuk menikah lagi.

"Tidak semudah itu, Iwan. Kau tahu, hati Ibu telah dibawa pergi oleh ayahmu, mana mungkin Ibu menikah lagi."

"Ibu mencintai laki-laki yang bahkan tidak mencintai Ibu?" Rahang Iwan mengeras, pembicaraan tentang ayahnya yang kabur bersama wanita lain selalu menjadi topik sensitif baginya. Iwan sendiri telah menganggap ayahnya sudah mati sejak ia meninggalkan dirinya bersama ibu yang menderita.

"Setidaknya ia pernah mencintai Ibu ketika ia melIwan Ibu, lalu kamu hadir di antara kami. Itu sudah cukup membuktikan kisah cinta kami." Ratih berkaca-kaca sembari mengenang suaminya.

"Benarkah? Aku tidak yakin dia mencintai Ibu bila akhirnya pergi bersama wanita lain," geram Iwan.

"Apa karena itu kamu enggan menikah, Iwan?" Ratih bertanya hati-hati.

"Tidak juga." Terdengar nada ragu dalam suara Iwan.

"Lantas apa lagi yang kamu tunggu?"

"Sudahlah, Bu, biarkan Iwan yang memutuskan menikah atau tidak." Iwan berlalu meninggalkan ibunya yang mematung di ambang pintu. Menatap punggung lebar anaknya yang menjauh dari pandangan matanya.

"Maafkan Ibu, Nak, telah membuatmu menjadi begini." Pelupuk yang telah mengendur itu dipenuhi air mata. Raut wajah sedih mengambang di awang-awang hingga jatuhlah tetes pertama air mata seorang Ratih.

Puncak dari pertengkaran ibu dan anak itu terjadi seminggu kemudian. Ratih membawa seorang wanita muda sederhana yang jelita untuk diperkenalkan kepada Iwan. Sayangnya, Iwan memilih pergi ketimbang menemui perempuan pilihan ibunya itu.

Namanya Diana. Menurut Ratih, Diana anak yang baik. Ia sopan kepada orang tua siapa pun mereka. Poin pentingnya adalah Diana mencintai anak-anak, terbukti dengan kecintaannya yang tersorot dari netra tajamnya yang berbinar tiap kali berhadapan dengan anak-anak di panti asuhan.

Dengan pemikiran itulah, Ratih, setelah memperhatikan gadis yatim piatu itu selama beberapa bulan belakangan ini, meminta Diana untuk berkenalan dengan Iwan. Mirisnya, Iwan justru melewatkan kesempatan itu untuk memiliki sesosok penuh cinta yang diyakini Ratih akan menjaga Iwan selama sisa hidupnya.

"Iwan, pulanglah, Nak. Ibu kangen kamu," katanya pada sebuah kesempatan melalui sambungan telepon.


"Ibu, Iwan akan pulang bila Ibu tidak lagi memaksaku untuk menikah."

"Bagaimana dengan Diana? Kamu tidak ingin mengenalnya? Bukankah dia cantik dan keibuan?" tawar Ratih.

"Jika Ibu seperti ini terus, Iwan tidak bisa pulang."

"Kenapa, Iwan? Kamu tidak kangen Ibu? Ibu sudah tua, reumatik Ibu juga sering kambuh. Siapa yang akan menolong Ibu, Iwan, kalo bukan kamu, anak Ibu satu-satunya." Ratih berbisik lirih pada gagang telepon yang digenggamnya. Suara ibunya yang mengiba seperti itu tentu saja membuat Iwan merasa bersalah. Namun, hatinya masih keras menerima perjodohan yang ibunya siapkan sebelumnya.

Iwan mendesah keras pada udara kosong di hadapannya. Tatapannya terpaku pada langit-langit kIwannya yang berwarna putih polos, mengingatkannya akan sosok dalam foto yang dikirimkan ibunya setahun yang lalu. Wanita berjilbab putih itu tersenyum anggun, seperti kata ibunya tampak keibuan. Iwan tertarik dengan wanita itu, tapi sekali lagi egonya enggan menerima perjodohan ataupun paksaan semacam itu. Ia merasa gagal dan malu di hadapan ibunya sebab tidak mampu mengurus dirinya sendiri.

"Iwan, kamu dengar apa kata Ibu?" suara Ratih mengusik lamunan Iwan yang sempat membayang di pelupuk matanya. Iwan mengerjapkan mata dan tersadar telah memikirkan Diana meski hanya sekejap.

"I, iya, Ibu, Iwan dengar," tergagap Iwan menjawab, "Iwan akan pulang bulan depan." Keputusan spontan itu membuat Iwan terkejut. Sekali ini ia membiarkan mulutnya bicara tanpa berpikir panjang.

"Sungguh?" Nada tak percaya Ratih terdengar bersemangat di telinga Iwan.

"Iya."

"Asyik! Kamu ingin makan apa Iwan biar Ibu siapkan ketika kamu pulang nanti. Opor ayam, gado-gado, pecel …?" sederet makanan kesukaan Iwan disebutkan terburu-buru oleh sang ibu.

"Tidak usah, Bu. Ibu istirahat saja di rumah. Bi Qom masih bekerja di rumah kita kan, Bu?" potong Iwan.


"Baiklah, Ibu tunggu kedatanganmu, Nak. Tenang saja Bi Qom masih menemani Ibu berberes rumah," jawab ibunya antusias.

Percakapan itu pun berakhir dengan kebahagiaan di pihak Ratih, sedangkan Iwan masih terpaku dengan keputusan mendadaknya. Ia ragu bila ibunya tidak merencanakan pertemuan lagi dengan Diana saat ia pulang nanti. Bagaimanapun Iwan telah menyerah untuk melarikan diri. Ia mengaku kalah, menurunkan egonya demi sang ibu, satu-satunya yang tersisa dalam hidupnya.

Ah, Ibu, aku tak sabar pulang untuk menemui bidadari yang kau siapkan untukku. Benak Iwan berbisik. Seketika hatinya mengembang karena gembira, ternyata untuk jujur kepada diri sendiri juga perlu waktu lama.

Benar, ia menyukai Diana jauh di dalam lubuk hatinya. Buncah di dadanya selaras dengan detak jantung yang berpacu. Waktu menunggu sebulannya jadi terasa sangat lama. Ia harus menuntaskan pekerjaannya sebelum pulang ke rumah, tekadnya kuat.

Sebulan kemudian, Iwan menjumpai Ratih duduk di teras rumah mereka dengan wajah murung. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia menyadari kedatangan Iwan. Ucapan salam Iwan pun terseret angin tanpa balasan.

"Ibu, ada apa?" Iwan menyentuh bahu Ratih pelan. Sebelumnya ia menduga ibunya akan menyambut dirinya dengan penuh suka cita, namun yang terjadi justru sebaliknya. Ada apa gerangan yang telah mengusik hati ibunya itu? Iwan bertanya-tanya dalam hati, ia sedikit kecewa tapi tentu saja ia lebih mengecewakan ibunya sebelum ini. Ratih mendongakkan wajahnya yang sendu.

"Iwan?" Tangan Ratih terangkat ke rambut hitam Iwan, membelainya. Senyum pahit tersungging di bibirnya. "Kamu pulang, Nak?"

Iwan mengangguk menjawab pertanyaan ibunya. "Sayang sekali kamu datang terlambat, Iwan, Diana…"

Iwan menunggu kelanjutan ucapan Ratih dengan gugup. Ada apa dengan Diana?

"Ia baru saja bertunangan." Air mata Ratih jatuh berderai-derai.

Iwan terkesiap, terasa godam telah merenggut jantungnya seketika. Sakit. Itu yang dirasakan Iwan. Mulutnya terkunci dan pandangannya terlempar kepada sosok yang tengah dibicarakan ibunya. Tubuh Iwan menegang seketika ketika dilihatnya wanita itu berjalan anggun menuju tempat Iwan dan ibunya berada.


"Lho, Ibu, kenapa?" Diana tergopoh-gopoh mendekat, bertanya kepada Ratih yang tengah menangis di sisi Iwan. Diana berjongkok di hadapan Ratih sembari mengelus tangan berkeriput dan berkapal perempuan yang telah dianggapnya sebagai ibu selama setahun ini.

Wajah ayunya penuh tanya kepada Iwan, yang ditanya menggaruk tengkuknya dengan canggung. Wanita yang telah membuat hatinya berbunga-bunga selama beberapa kejap telah lenyap digantikan luka. Perasaan kecewanya masih terasa mengambang di sekitarnya.


Nasi telah menjadi bubur. Setahun yang lalu ia melarikan diri, kini bukan salah Diana bila ia tidak berminat kepada Iwan yang pengecut.

Ia sudah bertunangan, batin Iwan terus-menerus mengulang hal yang sama.

Iwan menyesalinya sekarang. Seharusnya Diana menjadi istrinya, jika saja ia tidak kabur. Mungkin Diana juga sudah mengandung anaknya saat ini. Mereka hidup bahagia dengan keluarga kecil yang bersahaja. Khayalnya melambung tinggi dan ketika tersadar denyut luka menganga semakin terasa di hatinya. Semua sudah berakhir.




0 komentar:

Posting Komentar

Related image