Akhir bulan Oktober lalu, beberapa negara di dunia merayakan Halloween. Perayaan yang kerap berlangsung setiap tanggal 31 Oktober ini identik dengan dekorasi yang berkesan horor dan pesta kostum bagi anak-anak. Saat Halloween, berbagai makhluk mengerikan kerap muncul menjadi ikon perayaan; dan salah satu yang sering muncul adalah sosok penyihir.
Digambarkan dengan seorang nenek tua jahat yang memiliki kulit berwarna kehijauan, itulah stereotip penyihir sebagai ikon perayaan Halloween. Tidak lupa, ia juga gemar menaiki sapu ijuk yang bisa terbang, untuk mengantarkan dirinya pergi ke sana kemari.
Mengapa ia senantiasa digambarkan seperti itu? Rupanya, ada sejarah di balik stereotip tersebut.
Tidak ada yang tahu pasti, kapan sebenarnya sapu ijuk ditemukan. Namun yang pasti, sejak dahulu kala orang-orang gemar menyapu menggunakan kayu kecil yang digabungkan menjadi satu dengan alang-alang, dan serat alami, untuk membersihkan debu dari perapian. Menyapu juga kerap dikaitkan sebagai simbol pekerjaan domestik bagi kaum wanita.
Meskipun menyapu menggunakan sapu ijuk telah identik sebagai pekerjaan wanita, namun penyihir pertama yang mengaku terbang menunggangi sapu ijuk ialah seorang pria. Guillaume Edelin, namanya. Edelin merupakan seorang pendeta dari Saint-Germain-en-Laye, dekat Paris. Dia ditangkap pada tahun 1453 dan diadili karena mengkritik gereja secara terbuka akan peringatan terhadap penyihir. Selama ditahan dia disiksa, lalu dia pun bertaubat. Walaupun hingga akhir hayatnya dia tetap ditahan.
Citra seorang penyihir yang mengendarai atau menunggangi sapu ijuk terbang pun semakin kesohor, seiring dengan pengakuan Edelin.
Sebuah gambar yang mengilustrasikan penyihir menunggangi sapu ijuk terbang muncul dalam naskah penyair Prancis, Martin Le Franc, pada tahun 1451. Dalam ilustrasi ini terdapat dua orang penyihir, satu orang penyihir menunggangi sapu ijuk dan satunya menunggangi tongkat kayu, serta keduanya menggunakan kerudung. Keduanya diidentifikasi sebagai bagian dari kaum Waldesian, sekte yang dianggap sesat oleh Gereja Katolik karena membolehkan wanita menjadi pendeta.
Beberapa ahli pun berpendapat bahwa kaitan antara penyihir dengan sapu ijuk kemungkinan berakar dari kebudayaan kaum pagan. Kaum pagan kerap melakukan ritual kesuburan pertanian dengan menari dan melompati tiang, garpu rumput, dan sapu ijuk di bawah cahaya bulan purnama. "Tarian sapu" ini kerap dikaitkan dengan kisah umum penyihir yang gemar terbang sepanjang malam dalam perjalanan menuju sebuah pesta penyihir ataupun pertemuan terlarang lainnya.
Bagaimanapun, tidak mungkin untuk mengetahui apakah cerita seperti itu, yang dilaporkan pada puncak kecemasan akan ilmu sihir di Eropa pada Abad Pertengahan, mencerminkan kenyataan atau tidak. Sebagian besar dari apa yang diketahui tentang sihir abad pertengahan, pada saat ini berasal dari catatan penyelidik agama, pejabat hukum, dan kesaksian dari para tertuduh penyihir (seringkali saat mereka disiksa).
0 komentar:
Posting Komentar