Kejadian ini bermula saat saya bekerja di sebuah perusahaan terkemuka pada 2014 silam. Saat itu saya bekerja sebagai sekertaris junior tetapi setahun kemudian diangkat menjadi sekretaris utama karena yang sebelumnya terdiagnosa kanker dan harus meninggalkan perusahaan.
Bos saya berumur 44 tahun, keturunan Jawa-Sunda, sudah beristri, dan dikaruniai empat orang anak. Ia memiliki citra baik sebagai seorang bos, sangat sopan dan berkarismatik. Sedangkan saya memiliki paras menawan, tubuh proporsional, dan sedang menjalani hubungan jarak jauh dengan kekasih.
Awalnya, semua berjalan sangat baik dan profesional. Saya selalu menyiapkan apa yang bos butuhkan termasuk mengikuti ke mana pun perjalanan dinasnya. Perlu diketahui, saya dan kekasih sering kali melakukan hal dewasa secara virtual bahkan bertukar foto vulgar.
Hubungan saya dengan bos bermula dari ketidaksengajaan saya mengirimkan foto vulgar itu ke Whatsapp-nya. Saat itu belum ada fitur ‘hapus pesan ke semua’, sambil harap-harap cemas akhirnya saya buka kembali aplikasi tersebut dan melihat kalau pesannya sudah bercentang biru.
Saya mengutuk diri, mencaci kebodohan saya yang tidak bisa melihat kembali nama profil yang akan saya kirimkan foto tersebut. Jantung saya berdegup hingga rasanya mau lari meninggalkan saya, saya merasa lemas seolah semua darah turun ke kaki. Tidak ada yang tersisa.
Saya menghela napas panjang dan mengumpulkan keberanian untuk mengirimkan pesan “maaf salah kirim” balasku seadanya. Tak lama pesan itu pun centang biru yang berarti dia belum menutup profil Whatsapp saya. Dia tidak membalas pesan saya. Saya semakin panik dan tidak tahu harus menaruh muka di mana saat bertemu dengannya besok.
Esoknya, saya memutuskan untuk berangkat lebih pagi. Semalaman saya tidak bisa tidur, cemas harus berkata apa saat bertemu dengannya. Terlebih belum lama saya diangkat menjadi sekretaris utama, “bagaimana kalau saya dikeluarkan karena perilaku saya yang kurang baik? Mau ditaruh di mana muka saya?” pikiranku berkecamuk.
Sepertinya wajah saya hari ini tidak karuan, kantung mata saya pastilah hitam karena tidak tidur semalaman suntuk. Selama perjalanan jantung saya berdegup sangat kencang, mungkin jika ada orang yang berdiri di sebelah saya, mereka akan dengar betapa kencang suaranya.
Sesampainya di parkiran kantor, keringat dingin mulai membasahi kening, perut saya tiba-tiba mulas menahan gugup. Saya memasuki lobi kantor dan bergegas ke ruangan bos, tetapi sebelum itu saya putuskan untuk pergi ke kamar mandi. Melihat bagaimana kondisi wajah saya dan terutama mengumpulkan segala niat juga keberanian untuk meminta maaf atas kebodohan saya.
Saya melihat diri saya di cermin kamar mandi, “buruk” gerutuku. Saya membuka keran dan membasuh wajah dengan air dingin, luntur semua make up, terlihatlah wajah saya yang sesungguhnya. Kantung mata hitam, bibir pucat, kulit kering, saya menghela napas dan membuka tas untuk mengeluarkan pouch make up.
Hitung-hitung mencari kesibukan agar tidak terlalu gugup, di tengah memakai foundation saya melihat jam “masih ada waktu untuk mengumpulkan keberanian sebelum akhirnya dia datang” gumamku. Selesai make up, saya kembali menatap pantulan diri di cermin “sebenarnya saya tidak jelek kok, hanya saja malu karena salah kirim foto itu” kataku dalam hati.
Setelah cukup berias, saya keluar dan duduk di meja dekat ruangannya. Berulang kali saya melirik jam tangan untuk melihat berapa lama lagi ia akan datang. Bos saya adalah orang yang tepat waktu, dia selalu datang di jam yang sama. Jadi, tidak sulit mengetahui kapan ia akan tiba.
Saat aku melirik jam tanganku yang entah sudah kesekian kali, derap langkahnya mulai terdengar mendekat. Aku berdiri dan merapikan baju, ia membuka pintu “selamat pagi” ucapnya sambil tersenyum dan berlalu masuk ke dalam ruangannya. Saya hanya tersenyum dan menjawab sapaannya seperti biasa.
“Hari ini aku harus minta maaf” niatku. Selama satu hari itu, ia terlihat biasa sekali, tidak mengintruksikan hal aneh. Benar-benar respek saya dengannya, berulang kali saya mengintip ke dalam ruangan untuk meminta maaf tapi kata itu sepertinya susah kali terlontar dari bibir saya.
Satu hari hampir terlewati, ketika ia keluar dari ruangan dan berhenti di depan meja saya, ia bertanya “kamu pulang jam berapa?” tanyanya “sebentar lagi akan pulang Pak” jawabku “bisa temani saya minum kopi?” tanyanya. Mendengar ajakkannya itu, saya berpikir bahwa inilah saat yang tepat untuk saya meminta maaf. Saya menyetujui ajakan itu.
Kami turun dan masuk ke salah satu kedai kopi yang berada di lobi. Saat tiba di kedai dan sudah memesan kopi, saya membuka obrolan tentang insiden salah kirim pesan itu, belum selesai bercerita ia sudah menyela pembicaraan saya “forget about it, saya paham kamu LDR, foto itu pun sudah saya hapus” katanya.
Saya makin respek dengannya. Sejak kejadian itu, kami jadi makin akrab bahkan terbawa sampai di luar lingkup kantor. Sering kali saya diundang ke rumah untuk bertemu dengan keluarganya. Dia pun sangat perhatian hingga sering mengirimkan pesan singkat sebagai cara menunjukkannya.
Ada hal yang membuat saya nyaman saat berada di dekatnya, ia sangat pandai membangun suasana dengan gurauan-gurauannya. Saya kerap kali tertawa terbahak-bahak jika dia sudah melontarkannya.
Mungkin kedengarannya salah, tetapi seiring berjalannya waktu saya masuk ke dalam perangkap. Saya tidak bisa menghapus ingatan tentang bos saya itu bahkan sering kali saya berfantasi dengannya. Gila memang, saat itu saya sudah punya kekasih, hubungan kami pun terjalin cukup lama dan dia sudah memiliki keluarga. Tapi saya benar-benar tidak bisa membuang hal tentangnya sekalipun saya mencoba berulang kali.
Kedekatan kami makin intens, tetapi tidak ada satu pun orang kantor yang mengetahuinya. Kami sangat profesional saat bekerja dan dengan citra baik bos saya, ia jauh sekali dari skandal negatif.
Saat itu Hari Raya Nyepi, saya diundang untuk makan siang bersama di salah satu restoran. Saya menyetujui ajakannya dan ketika datang saya hanya melihat ia duduk seorang diri. Tidak biasanya ia datang sendiri, apalagi saat hari libur.
Entah apa yang salah dengan saya, sepanjang hari saya berusaha untuk menggodanya. Mulai dari gerak tubuh hingga ‘memancing’ obrolan yang menjurus ke arah sana. Gayung pun bersambut, ia merespons godaan saya.
Setelah makan siang, kami pergi ke hotel terdekat. Dari sanalah hubungan terlarang ini dimulai, ia tidak hanya menjadi kekasih bagi saya tetapi juga kakak dan mentor bagi kehidupan saya. Ia sangat gentleman dan tahu bagaimana cara memperlakukan wanita.
Selama menjalin kasih dengannya, saya tidak hanya mendapatkan gaji tetapi juga gaji kedua yang jumlahnya cukup besar. Hubungan terlarang kami berjalan selama dua tahun, awal 2015 hingga 2017 dan harus berakhir ketika kekasih saya pulang dari Singapura. Cukup sulit menjalani hubungan terlarang itu jika kekasih saya berada di kota yang sama, terlebih setelah beberapa bulan kepulangannya ia melamar saya.
Tentu saja saya menerima lamaran tersebut, agar tidak memancing kecurigaan jika saya mengulur-ulur waktu untuk menjawabnya. Tetapi dalam hati saya yang terdalam terdapat kegalauan dan kesedihan luar biasa. Pinangan itu membuat saya harus memutuskan hubungan dengan bos saya tercinta.
Saya galau bukan main, saya bingung “bagaimana kalau tiba-tiba saya merindukannya?” batin saya berkecamuk. Saya memendam kegalauan itu rapat-rapat dan berusaha bertingkah normal di depan kekasih saya.
Setelah melewati proses pemikiran yang sangat panjang, akhirnya saya memutuskan untuk berbicara dengan kekasih saya. “Bagaimana kalau aku resign dari kantor? Boleh?” tanyaku, kekasihku menyetujui dan bilang kalau ia mendukung semua keputusanku.
Berat rasanya menulis bahkan mengajukan surat resign ketika sudah terikat perasaan dengan atasan. Tetapi saya tidak mungkin mengecewakan kekasih saya dan memilih seseorang yang sudah berkeluarga. Jika saya memilihnya, hubungan kami belum tentu memiliki ujung yang diharapkan.
Saya juga tidak tega melihat keluarga yang harmonis hancur hanya karena keberadaan saya. Saya menaruh surat resign di meja bos saya, ketika ia membacanya dan terlihat sangat sedih. Hari terakhir saya bekerja tiba, ia mengurung diri di ruangannya dan tidak menemui saya.
Saya mengundangnya ke pernikahan saya, tetapi ia tidak datang. Ia hanya mengirimkan karangan bunga dan amplop berisi cek puluhan juta tanpa ada surat di dalamnya. Hubungan kami sudah berakhir, tapi kesedihannya bahkan masih terasa sampai saat ini.
0 komentar:
Posting Komentar