Suku Baduy termasuk kelompok masyarakat di Indonesia yang menolak teknologi. Suku yang kerap disebut Orang Kanekes itu pun mempertahankan cara hidup dan budayanya hingga saat ini.
Menempati wilayah Lebak, Banten, populasi Suku Baduy sekitar 12.000 orang. Suku Baduy terbagi menjadi 3 kelompok sosial yaitu Tangtu, Panamping, dan Dangka.
Tiga kelompok ini masing-masing memiliki karakteristik khusus dalam menerapkan adat istiadatnya. Tangtu atau Baduy Dalam adalah kelompok yang masih erat mempertahankan adat istiadatnya, Panamping atau Baduy Luar adalah kelompok yang keluar dari Baduy Dalam karena hal-hal tertentu. Sementara itu, ada Dangka atau Kampung Dangka yang berfungsi sebagai buffer zone terhadap dunia luar.
Seperti yang dipaparkan di atas, Suku Baduy adalah salah satu suku yang menerapkan sistem isolasi dari dunia luar. Tetapi, hal ini tidak menjadikannya sebagai suku primitif, terbelakang, dan menakutkan yang biasa orang pikirkan. Mereka pun masih menerima orang luar yang ingin berkunjung ke desa mereka---selama pendatang menaati aturan setempat.
Hal-hal di atas menjadikan Suku Baduy terkenal dengan keunikannya dalam menjaga dan menghargai alam. Ada banyak aturan di suku ini yang bertujuan untuk menjaga alam dan bisa menginspirasi masyarakat modern masa kini.
1. Orang Baduy gak pakai sabun mandi dan pasta gigi
Mungkin, sebagian dari kamu merasa geli membaca suku ini tidak menggunakan sabun dan pasti gigi dalam membersihkan gigi. Tetapi, tahukah kamu, hal ini dilakukan Suku Baduy untuk menjaga alam loh.
Masyarakat Baduy menganggap penggunaan bahan kimia yang sudah banyak digunakan oleh masyarakat modern hanya merusak alam, termasuk sabun mandi dan pasta gigi.
Alih-alih menggunakan bahan kimia, masyarakat Baduy lebih memilih sabut kelapa sebagai pengganti sabun mandi serta sirih untuk pengganti pasta gigi.
Suku Baduy begitu memperhatikan alam meski itu berasal dari hal yang kecil. Mereka tidak perlu kampanye go green yang biasa masyarakat modern lakukan, mereka hanya perlu melakukan perubahan kecil yang memang sulit dilakukan tapi sangat berdampak pada lingkungan.
2. Suku Baduy tidak butuh nisan saat mengubur orang meninggal
Masyarakat Baduy tidak mengenal tempat pemakaman umum (TPU). Mereka biasa mengubur jenazah di lahan hutan atau tanah keluarga.
Uniknya, makam akan dibuat rata dengan tanah, seperti semula dan tidak ada tanda apapun, termasuk nisan. Gak sampai di situ saja, masyarakat Baduy membiarkan saja makam itu ditumbuhi tanaman liar.
Ada falsafah di balik itu semua. Masyarakat Baduy mengajarkan kepada kita untuk tidak perlu meratap sedih kepada orang yang sudah meninggal. Mereka menganggap hal ini tidak perlu dilakukan dengan berlebihan dan mewah, mengadakan acara kematian selama 7 hari pun sudah cukup dilakukan.
Prinsip mereka adalah bahwa orang yang sudah meninggal akan kembali ke tanah, tidak perlu diratapi.
3. Selalu bertelanjang kaki dalam menjalani aktivitas, bahkan bila ke luar pemukiman sekalipun
Bagi Masyarakat Baduy alam adalah rumahnya dan tempatnya berpijak sehingga menjaga dan menghargainya adalah sebuah keharusan. Jadi, kamu gak perlu heran jika di sana tidak ada peralatan teknologi, termasuk kendaraan.
Gak hanya itu, orang Baduy juga tidak menggunakan Oleh karena itu, membawa kendaraan dan menggunakan alas kaki untuk berjalan di wilayahnya adalah hal yang dianggap tabu karena dianggap dapat merusak alam.
Bukan tanpa alasan, sikap hidup penuh kesederhanaan ini mereka lakukan semata-mata untuk 'bersahabat' dengan alam. Menurut kepercayaan mereka, dengan menyentuh langsung tanah akan membuat jiwa mereka semakin dekat dengan alam. Bagi masyarakat Baduy, kesederhaan tersebut juga bukanlah bentuk kekurangan yang mungkin orang lain pikirkan. Namun, hidup sederhana dan bersahabat dengan alam adalah suatu arti kehidupan yang sangat berarti bagi mereka.
4. Gotong royong demi kepentingan bersama
Di kota-kota besar, gotong royong kadang tersisa hanya slogan. Ketika ada pekerjaan, semua harus bayar tukang.
Berbeda dengan masyarakat Baduy. Masyarakat Baduy menerapkan gotong royong dalam kesehariannya. Dengan gotong royong, pekerjaan yang berat akan menjadi lebih mudah.
Di sisi lain, gotong royong dapat mempererat ikatan dalam persaudaraan, sehingga ketika ada masalah, masalah itu dapat terselesaikan dengan baik secara bersama-sama.
Baik pekerjaan individu maupun kebutuhan infrastruktur sosialnya, masyarakat Baduy selalu mengerjakannya secara gotong royong. Jabatan, kemampuan, bahkan jenis kelamin tidak menghentikan mereka untuk saling bahu membahu demi kepentingan bersama.
Hal itu didasari falsafah hidup masyarakat Baduy sangat menjunjung tinggi ajaran nenek moyangnya. Gotong royong adalah ajaran nenek moyangnya yang diturunkan turun temurun dan menjadi tradisi yang kental di Suku Baduy hingga saat ini.
5. Menjunjung tinggi aturan-aturan yang telah ada sejak zaman nenek moyang
Pepatah orang Baduy mengatakan, "Panjang jangan dipotong, pendek jangan disambung. Kurang jangan ditambah, tambah jangan dikurangi." Dalam sekali dengar, kamu pasti bisa menangkap maksudnya. Meski terdengar sederhana dan umum, tetapi pepatah tersebut memiliki makna yang luar biasa, lho. Bagi masyarakat Baduy, dalam menjalani kehidupan diperlukan sesuatu yang sederhana dan 'apa adanya'. Sangat bermakna bukan? Mari kita lihat di sekitar kita, ada banyak hal yang dilakukan masyarakat modern untuk mencapai sesuatu meskipun itu harus merusak alam.
Bagi masyarakat Baduy, alam bukan hanya sebagai tempat tinggal mereka tetapi juga tempat mereka bergantung untuk hidup. Segala kecukupan kehidupan yang mereka butuhkan ada pada alam, sebab inilah walau mereka diterjang arus 'modernisasi' masyarakat Baduy masih mempertahankan aturan-aturan yang ada sejak zaman nenek moyangnya untuk senantiasa menjaga alam.
0 komentar:
Posting Komentar