Lobster kembali menjadi perbincangan setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan penangkapan terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Edhy ditetapkan menjadi tersangka pada Rabu dini hari (25/11) terkait kasus suap perizinan ekspor benih lobster.
Lobster merupakan salah satu jenis seafood mewah di Indonesia. Harganya terbilang mahal, hampir menyaingi seafood lainnya; semisal kepiting. Sehingga tak semua orang bisa menikmati lobster setiap hari. Begitu juga di negara lainnya, saat ini lobster dikenal sebagai hidangan mewah, menghiasi deretan menu restoran fine dining.
Tapi, tahukah kamu, awalnya lobster justru menjadi bahan makanan untuk narapidana hingga para budak?
Mengutip Spoon University, kisah lobster sebagai bahan makanan bermula dari penemuan masyarakat Benua Biru, Eropa. Saat para pemukim Eropa datang pertama kali ke Amerika Utara, mereka mengatakan bahwa ada begitu banyak lobster yang terdampar di Massachusetts Bay Colony —menumpuk setinggi dua kaki.
Lobster tersebut bertumpuk setinggi 60 sentimeter, terdampar di sisi pantai. Bukan lantaran sedang mengadakan festival makanan laut, para penjajah justru merasa malu dengan tumpukan lobster yang mereka sebut ‘kecoa laut’ itu. Bahkan, hewan krustasea itu digunakan sebagai pupuk dan umpan untuk memancing —saking jumlahnya melimpah ruah.
Lantaran jumlah yang melimpah, lobster pun dikenal sebagai makanan masyarakat tak punya (miskin). Masyarakat yang tak memiliki uang tersebut justru terbiasa merasakan lobster sebagai bahan makannya sehari-hari. Selain itu, lobster juga diberikan untuk makanan para narapidana, karyawan magang, dan budak.
Namun, Business Insider melansir, pemahaman tentang lobster mulai berubah semenjak pertengahan tahun 1800-an karena penemuan makanan kaleng dan kereta. Lobster pernah menjadi salah satu produk kalengan paling populer di pasaran Amerika.
Banyak orang yang tertarik mencicipi hidangan laut, namun tinggal di daerah yang jauh dari perairan, sehingga makanan kaleng menjadi solusinya.
Sementara itu, harga tiket kereta api yang terjangkau juga membuat semakin banyak orang berkunjung ke kota-kota New England untuk mencicipi makanan praktis ini.
Lobster segar pun turut meraih kepopulerannya, dan karena banyak permintaan, pada tahun 1880-an restoran serta pasar mulai menaikkan harga jual hewan berdaging lembut tersebut. Perubahan ini juga terasa di Boston dan New York City, di mana harga lobster pun kian melonjak.
Sampai akhirnya pada masa Perang Dunia II, lobster resmi dianggap sebagai makanan lezat dan mewah. Ketidakstabilan ekonomi saat perang juga menyebabkan para pencinta lobster harus menikmatinya dengan harga tinggi.
Akibatnya, lobster yang dulu merupakan makanan orang miskin, seiring berjalannya waktu justru kini hanya dapat dijangkau oleh mereka yang sanggup membayar mahal seafood tersebut.
Di sisi lain, selain sebagai makanan mewah, daging lobster dikonsumsi karena mengandung kalori lebih sedikit daripada dada ayam tanpa kulit. Hidangan laut ini juga menawarkan manfaat kesehatan karena mengandung asam lemak omega-3, kalium, dan berbagai vitamin; ada vitamin E, B-6 dan B-12.
0 komentar:
Posting Komentar