Plovdiv, kota terbesar kedua di Bulgaria,bangga dengan reputasinya dalam melakukan berbagai hal dengan caranya sendiri. Tidak seperti kota besar kebanyakan di Eropa, Plovdiv menunjukan pesona kotanya dengan warga lokal menjalani hidup begitu santai.
Bila di kota besar lainnya, seperti London, Madrid, ataupun Roma, orang-orang menjalani kehidupannya dengan serba cepat, penduduk di Plovdiv berkegiatan lebih lambat dan seakan-akan memiliki banyak waktu luang. Mereka tampak tidak terpengaruh oleh desakan hidup urban ataupun urgensi modernitas.
Lalu lintas tidak terlalu padat. Pusat kota dan taman menjadi tempat di mana para lelaki tua senantiasa berkumpul untuk bermain catur. Sementara orang-orang muda sering bersantai serta mengobrol di bawah naungan pepohonan tua.
Di wilayah lain pusat kota, tepatnya Distrik Kapana, orang-orang juga tampak keluar dari bar untuk bersantai di pedestrian. Di kafe dekat Masjid Dzhumay, ada pula yang duduk berjam-jam sambil menyeruput secangkir kopi Turki. Semua itu berlangsung selama jam produktif kerja (pagi-sore) dan tidak hanya pada saat akhir pekan.
Bagi mereka, gaya hidup seperti itu ialah tradisi yang secara bijak mesti dijaga oleh setiap generasi. Mereka pun menyebutnya sebagai aylyak. Dalam etimologi aylyak merupakan kata serapan dari bahasa Turki aylaklik yang berarti kemalasan atau membuang-buang waktu.
Meskipun terdapat dalam kamus bahasa Bulgaria, kata tersebut sebetulnya tidak banyak digunakan di luar daerah Plovdiv. Di Sofia, misalnya, Ibu Kota Bulgaria, banyak orang justru skeptis terhadap filosofi aylyak. Mereka menganggap hal itu tidak lebih dari branding sebuah kota dan strategi marketing semata.
Namun, berbagai studi yang dilakukan oleh para ahli antropologi menunjukan kesimpulan berbeda dengan skeptis penduduk Sofia. Svetoslava Mancheva, seorang antropolog dan direktur ACEA Mediator, sebuah organisasi yang didedikasikan untuk menghubungkan komunitas dan ruang kota, menerangkan bahwa banyak orang yang pindah ke Plovdiv karena filosofi aylyak-nya. Bagi Mancheva, aylyak berakar pada sejarah panjang keanekaragaman budaya di Plovdiv; dan bukan semata untuk tujuan komersial pariwisata.
Sejarawan Mary C. Neuberger menggambarkan bahwa Plovdiv pernah menjadi pusat ekonomi yang berkembang pesat pada abad ke-19. Dari semua kota di Kekaisaran Ottoman, Plovdiv adalah yang kedua terbesar setelah Istanbul; dan merupakan rumah bagi orang Yahudi, Yunani, Bulgaria, Roma, Armenia, dan Slavia, yang berdesakan di jalan atau kedai kopi. Untuk itulah, Mancheva yakin, aylyak adalah jawaban atas tantangan hidup berdampingan dengan orang asing. Di kota yang begitu berdesakan, filosofi hidup santuy amat bermanfaat untuk menghindari gesekan sosial.
“Ini tentang menemukan tempat Anda sendiri di kota,” kata Mancheva. “Bagi saya, dasar dari aylyak adalah komunikasi. Anda tidak perlu menyukai satu sama lain. Yang penting adalah keinginan untuk berbicara, keinginan untuk mengerti."
Sederhananya, aylyak merupakan sebuah filosofi tentang menemukan waktu. Ini tentang menciptakan jeda dalam hari yang sibuk, untuk minum kopi, mengobrol, bermain catur, dan ragam kesantaian lainnya.
Sebab, dalam hiruk pikuk kota dan tuntutan runitinas, kita perlu memberi ruang bagi orang lain untuk berinteraksi. Kita tak pernah tahu bagaimana sebuah pertemuan dapat amat berguna untuk menyegarkan pikiran di tengah kesulitan hidup.
0 komentar:
Posting Komentar